Sabtu malam minggu, 20:00 WIB, menjelang liburan sekolah.
Dengan kondisi badan yang cukup letih, kucoba konsentrasikan perhatian
untuk mengendalikan mobil kecil biruku di keramaian jalan Tol Jagorawi.
Masa liburan sekolah menyebabkan jalan bebas hambatan itu menjadi sangat
ramai dan padat. Masih terbayang lambaian tangan istri dan ketiga
anakku melepas kepergianku, pulang kembali ke kota dimana kami menetap.
Aku yang tidak memperoleh cuti, terpaksa tidak dapat menemani mereka
yang kusayangi, berlibur di kota tempat mertuaku tinggal.
Lepas gerbang tol, kubelokkan mobil ke kiri, menuju Ciawi. Kondisi
lalulintas yang masih cukup lancar walaupun padat beriringan, membuatku
lega. 2-3 Jam lagi tentunya aku sudah sampai di rumah dan tidur dengan
nyaman.
Keadaan langsung berubah beberapa kilometer menjelang Cipayung.
Lalulintas yang semula lancar, mendadak berhenti sama sekali. Jalan
menuju Puncak dipenuhi kendaraan sampai 3 jalur, dan belum ada
tanda-tanda akan bergerak. Tanpa berpikir dua kali, kuputar kemudi,
berbalik arah mengambil jalur Sukabumi. Sambil menggerutu dalam hati,
kuperkeras suara radio di mobilku dengan harapan dapat mengusir rasa
kantuk.
Di perempatan jalan menuju Sukabumi, mobilku terhalang Angkot yang
berhenti seenaknya mencari penumpang. Bahkan supirnyapun tidak berada di
belakang kemudi. Kutekan klakson berulang-ulang, sambil berusaha
mencari celah untuk melepaskan mobilku dari keruwetan itu. Hampir
berhasil ketika aku dikagetkan oleh suara klakson dari sebelah kanan.
Kutahu pasti berasal dari Angkot yang berhenti itu. Kurang ajar,
sudahlah menghalangi jalan, masih berani pulak membunyikan klakson.
Niatku untuk memaki seketika pudar setelah melihat senyum manis dari 2
orang gadis dalam Angkot tersebut. Sambil berulang-ulang menekan tombol
klakson, mereka seperti berusaha untuk bertanya melalui gerakan jari dan
tangan. Sadar telah berhasil menarik perhatianku, salah seorang dari
mereka mengeluarkan kepalanya lewat jendela dan bertanya, "Mau ke
Sukabumi ya Om. Boleh ikut?"
Sejenak aku bimbang antara membolehkan atau menolak. Beberapa pertanyaan
lain juga berkelebat dalam pikiranku: Apakah mereka baik-baik? Akankah
mereka merampokku? Akankah mereka menyusahkanku? selain pikiran-pikiran
nakalku setiap melihat wanita.
Akhirnya pikiran nakal dan jiwa petualangku yang menang. Kupinggirkan
mobilku sambil menekan tombol Central Lock. Kedua gadis itupun masuk,
sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman. Kamipun saling berkenalan
dan bertukar nama. Yang seorang bernama Euis dan yang lain bernama Nyai
(sebut saja begitu, untuk menggantikan nama-nama sebenarnya yang juga
"berbau" Sunda). Mereka berdua tidaklah secantik kesan pertama saat
melihatnya, tetapi cukup manis dan menarik. Keduanya masih mengenakan
baju seragam SMEA dengan nama salah satu sekolah di Bogor yang tertulis
jelas pada Badge di dada. Mereka terlihat masih sangat muda walaupun aku
tidak terlalu yakin. Jaman sekarang ini, mudah saja mengubah penampilan
dan menyamar untuk menjadi muda. Aku sempat memperhatikan tubuh mereka
yang langsing dengan kedua payudara yang baru tumbuh. Pikiran-pikiran
nakal langsung menari-nari dalam kepalaku, yang membuat kemaluanku
perlahan membesar dan mengeras. Tentunya akan menjadi pengalaman yang
menyenangkan bila dapat meniduri mereka berdua. Tapi bagaimana caranya?
Perjalananku menjadi meriah dan ramai. Mereka berdua cerewet sekali,
dengan logat asli Jawa Barat yang masih kental. Dari cerita mereka,
kutahu bahwa mereka bersekolah di Bogor dan pada saat liburan, mereka
pulang ke orang tua mereka di Sukabumi. Dasar pikiran kotor, sesekali
kulontarkan kalimat-kalimat yang agak menjurus, yang dibalas dengan
cubitan-cubitan. Pembicaraan semakin panas saat aku berhasil membuat
mereka bercerita pengalaman masing-masing saat berpacaran. Euis, yang
menurutku lebih manis dan seksi, baru saja putus dari pacarnya yang
Mahasiswa, sedangkan Nyai masih berhubungan dengan kakak kelasnya.
Diluar dugaan, Nyai ternyata sudah sering berhubungan seksual dengan
pacarnya, sedangkan Euis baru sampai tahap "Heavy Petting". Tidak adanya
pengawasan di tempat mereka Kost menyebabkan mereka bebas berbuat apa
saja. Nyai kehilangan kegadisannya saat hubungan dengan pacarnya baru
berjalan 2 bulan. Mereka sengaja bolos sekolah saat itu. Di kamar kost
dimana Nyai tinggal, mereka berciuman, saling meraba, meremas, sampai
telanjang bulat dan hilang kendali. Hilanglah pula selaput daranya. Nyai
bercerita dengan enteng dan terkesan tanpa perasaan bersalah atau
menyesal. Dari cara duduknya yang gelisah, aku tahu kalau Euis yang
kebetulan berada di bangku depan terpengaruh oleh cerita Nyai. Kupegang
tangannya sambil kogoda, "Kenapa? Pengen ya?" Sambil tersipu-sipu dan
berusaha menyangkal, Euis mencubiti aku di beberapa bagian badanku.
Kutangkap tangannya dan berkata, "Awas lho, kalo sampai kena 'itu' bisa
bahaya." "Itu apa?" tanyanya sambil terus mencubit. Pikiranku semakin
kacau.
Di kota Cibadak, kubelokkan mobilku ke sebuah rumah makan. Turun dari
mobil, kugandeng keduanya, tidak bereaksi. Kurangkul mereka berdua,
tidak keberatan. Beberapa pasang mata pengunjung yang melihat kami
dengan terheran-heran, tidak kami indahkan. Kami sepakat untuk memesan
Sate Kambing sebagai makan malam. Sambil menunggu pesanan datang, kugoda
mereka, "Awas lho, abis makan Sate Kambing biasanya pengen nanduk."
Mereka tertawa sambil kembali mencubit. Pikiranku terus mencari jalan,
bagaimana caranya membawa mereka berdua ke tempat tidur. Jalan ke arah
sana kelihatannya sudah agak terbuka, tapi bagaimana kalau mereka
menolak? Lalu kabur? Lalu melaporkanku pada pihak berwajib? Bisa runyam.
Ini adalah satu cara untuk membuktikan cerita teman-temanku tentang
gadis-gadis dari kota tempat asal mereka yang katanya "agak nakal".
Kuhabiskan makanku dengan cepat, lalu kugoda mereka. Kugelitik pinggang
mereka, kuelus leher mereka, seakan tidak sengaja, kusenggol payudara
mereka, dan kuletakkan kedua tanganku di kedua paha yang ada di kanan
kiri tempatku duduk. Walau mereka berusaha mengelak, tapi tidak terlihat
keberatan atau marah. Mereka tertawa sambil tersipu-sipu dan kadang
membalas. Membuat pikiranku semakin tidak menentu.
Kembali ke lalu lintas jalan, aku terus berpikir. Kota Sukabumi semakin
dekat, tapi belum juga ketemu akal yang jitu, bagaimana ini?
Dikejauhan terlihat Papan Penunjuk Arah. Terus, ke Sukabumi Kota dan
Bandung, kiri Selabintana. Tiba-tiba muncul ide di kepalaku. Kutanya
mereka, "Selabintana itu apa? Perkebunan? Sebelah mana Pelabuhan Ratu?"
Walaupun aku tahu persis bahwa itu adalah daerah tujuan wisata yang
berhawa dingin dan tidak ada hubungannya dengan Pelabuhan Ratu. Mereka
berlomba menjelaskan bahwa itu adalah daerah wisata, tempat rekreasi,
tempat anak muda Sukabumi pacaran, dan lain sebagainya. Dengan nekad aku
bertanya, "Gimana kalau kita ke sana sebentar? Aku penasaran ingin
tahu." Tanpa kuduga, mereka tidak keberatan, bahkan terkesan senang.
Waktu sudah menunjukkan pukul 22:30. Yess... kelihatannya niatku
tercapai.
Segera kubelokkan mobilku ke kiri, lalu kuikuti liku-liku jalan menuju
ke tempat itu. Perlahan mulai terlihat beberapa penginapan di kiri kanan
jalan. Aku masih khawatir, kalau kubelokkan mobilku masuk ke salah
satunya, akankah kedua gadisku ini akan protes?
Saat kulihat penginapan "Se....." yang agak terpisah dari yang lain,
nekad kubelokkan mobilku memasuki halamannya. "Kita istirahat dulu ya,
capek," kataku sambil keluar dari mobil menuju ruang Receptionis.
Setelah membereskan administrasi dan langsung membayar penuh, aku
kembali ke mobil sambil membawa kunci kamar. Penginapan ini memungkinkan
mobil parkir pas di depan pintu. Kuparkir mobilku, kupastikan semuanya
aman, lalu kamipun turun. Kuperhatikan muka mereka, agak kikuk tetapi
tetap tidak terlihat menolak. Langkahku tinggal sedikit lagi.
Kamar yang kami masuki cukup besar. Ini adalah kamar termahal di
penginapan ini. Terdiri dari 2 tempat tidur berukuran nomor 2, ada TV 21
Inchi, ada kamar mandi dengan air panas, tetapi tanpa AC. Bisa
dimaklumi karena udara sekeliling sudah sangat dingin. Kukatakan pada
mereka, bahwa mereka berdua tidur di satu tempat tidur, sedang aku di
tempat yang lain. "Jangan saling mengganggu ya," kataku pada mereka.
Kubuka tasku, kuambil perlengkapan mandi, dan juga piyama. Istriku tidak
pernah lupa untuk menyiapkan segalanya. Istriku? Aku adalah pria
beristri, lalu, apa yang kukerjakan di kamar ini? Bersama dengan
gadis-gadis yang bukan muhrimku? Tapi setan nafsu ternyata lebih kuat.
Akupun mandi dengan gejolak dan birahi yang sangat tinggi. Kemaluanku
mengacung besar dan keras, ingin diremas, dihisap, lalu masuk ke rongga
empuk yang basah dan hangat. Ach, pasti sangat menyenangkan. Kubersihkan
dan kusegarkan seluruh tubuhku dengan air hangat. Selesai berhanduk,
kusapukan pewangi yang menurutku baunya sangat maskulin ke sekujur
tubuhku, termasuk di sekitar kemaluanku. Tanpa mengenakan pakaian
atasan, akupun keluar kamar mandi sambil mengeringkan kepalaku yang
berambut cepak dengan handuk. Kubiarkan kedua gadisku melihat otot dan
dadaku yang lumayan kekar dan bidang, walaupun tidak dilatih. Dengan
sudut mata, kulihat bahwa kedua gadisku terpesona melihat pemandangan
yang kusodorkan. Sambil pura-pura protes, kutegur mereka, "Heh!! Bengong
aja. Udah sana mandi! Pakai bajuku nich, daripada terus-terusan pakai
seragam itu. Kotor khan?" Kulemparkan pada mereka 2 buah Sweater, yang
berbentuk leher V. Aku membayangkan, dengan baju hangatku yang pasti
kebesaran untuk mereka, dada beserta garis payudara pasti akan terlihat
menggemaskan. Seperti terkaget, mereka melompat dari tempat tidur menuju
kamar mandi. "Hey, masak mandi berdua?" teriakku, yang tidak diindahkan
oleh mereka. Kuhidupkan TV, lalu kubaringkan tubuhku di tempat tidur
sambil membayangkan 2 tubuh telanjang yang sedang berlumuran sabun di
dalam sana. Kemaluankupun semakin besar, keras dan berdenyut-denyut.
Aku hampir tertidur saat mereka keluar dari kamar mandi, sambil
menenteng seragam masing-masing di tangan. Sempat kulihat bahwa mereka
berdua tidak lagi menggunakan BH, tapi mungkin masih menggunakan celana
dalam. Sayang sekali. Pasti baunya akan menempel kembali ke kemaluan
mereka masing-masing. Setelah menggantungkan baju seragam di lemari,
mereka naik ke tempat tidur, masuk ke bawah selimut. Muka-muka kedua
gadis muda yang sudah bersih dan segar semakin merangsang. Aku harus
berhasil meniduri mereka malam ini, tekadku dalam hati.
Aku dan mereka sama-sama diam, sambil menatap TV walaupun aku yakin,
pikiran mereka sama dengan pikiranku, tidak tertuju ke tayangan Angin
Malam. Suasana di luar sangat sepi, membuat suasana semakin sunyi. Detak
jantungku semakin keras, pikiranku semakin tidak menentu, sementara
kemaluanku semakin mengeras, besar dan berdenyut. Aku masih khawatir.
Akankah mereka teriak? Akankah mereka melawan? Ach, kalau tidak dicoba,
bagaimana bisa tau? Kulemparkan bantal ke arah mereka, sambil berkata,
"Hey, koq pada diem?" "Abisnya harus ngapain?" tanya mereka. Sambil
kurentangkan tangan, aku berkata dengan sedikit nekad, "Mending ke sini
yuk, biar anget." Tanpa kusangka, mereka berhamburan naik ke tempat
tidurku. Euis di samping kiri, Nyai di samping kanan. Keduanya langsung
kurangkul, masuk ke dalam pelukanku. Perlahan tanganku mengelus rambut
mereka yang basah (rupanya mereka keramas tadi di dalam), turun ke
telinga, leher, tangan, dan dengan sangat perlahan, tanganku yang sudah
sangat berpengalaman ini mengarah ke payudara. Sentuhan perlahan dan
hati-hati, perlahan menuju ke puncak, ke tonjolan yang semakin lama
semakin keras. Kujepit dengan kedua jariku sambil kupelintir perlahan.
Desahan mulai terdengar dari mulut kedua gadisku ini. Kulihat mata
mereka terpejam, dengan bibir mungil yang terbuka sedikit, membuatku
semakin terangsang. Kucium kening Euis, perlahan turun ke mata, hidung,
sampai ke bibirnya. Mulutnya yang wangi pasta gigiku itu kemudian
kuciumi. Dengan perlahan dan hati-hati, kutelusuri bibir dan giginya
dengan lidahku, lalu kumasukkan lidahku ke dalam mulutnya. Dia semakin
mendesah dan menggelinjang. Kedua tangannya memelukku erat. Sementara
itu, Nyai kutarik dan kusandarkan kepalanya ke dadaku. Kuelus rambutnya,
belakang lehernya, dan belakang telinganya. Tangannya yang bebas
mengelus dadaku, turun ke kedua putting dadaku, lebih turun lagi, dan
dengan berani menyelusup ke bawah karet celana piyamaku. Aku sengaja
tidak memakai celana dalam, supaya praktis pikirku. Berani sekali dia.
Elusan tangannya yang halus di permukaan batang kemaluanku, membuatku
semakin bernafsu. Kepalanya yang menghadap ke bawah perlahan turun.
Diturunkannya celana piyamaku, dan perlahan diciumnya kepala batang
kemaluanku. Dijilatnya perlahan, kemudian dimasukkan ke dalam mulutnya
yang kecil. Gesekan naik turun membuatku terpaksa mengangkat pinggangku
ke atas. Dan itu dipergunakan Nyai untuk melepaskan celanaku sama
sekali. Batang kemaluanku yang besar dan keras itu mengacung gagah,
bebas lepas. Kuhentikan ciumanku, lalu kubuka Sweater yang dikenakan
Euis. Hal yang sama kulakukan juga pada Nyai, sebelum aku sendiri
membuka piyama atasku. Aku sudah telanjang bulat sekarang, sedangkan
mereka berdua masih bercelana dalam. Tidak salah dugaanku.
Kurebahkan Euis, kemudian dengan rakus kukulum putting payudaranya yang
belum terlalu besar. Kugigit perlahan, kutarik dan kuhisap kuat, membuat
Euis sedikit berteriak. Sementara Nyai masih saja sibuk mengulum
kemaluanku di bawah. Nafsuku sudah tidak tertahankan. Kubuka celana
dalam Euis, lalu kujilati klitorisnya. Bulu kemaluannya masih sangat
jarang. Kugelitik klitorisnya dengan jari tengahku, dan perlahan kucoba
untuk menusukkan jariku itu ke dalam kemaluannya. Euis menghindar, dan
berkata pelahan, "Jangan Kang." Dia benar-benar masih perawan karena
jariku tidak bisa masuk, terhalang oleh selaput daranya.
Euis mendesah tidak karuan, kemudian mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi
sebelum terhempas diam. Dia sudah sampai di puncak kenikmatannya.
Kutinggalkan Euis telentang diam, kuserang Nyai. Kutelentangkan dia,
kutarik celana dalamnya kemudian kujilati kemaluannya. Kepalanya
mendongak karena berada di ujung bawah tempat tidur, sedang tangannya
sibuk meremas-remas kepalaku yang cepak. Kumasukkan jari tengahku, bisa
masuk. Kubengkokkan dan kutelusuri bagian atas kewanitaannya. Aku
mencari daerah yang menurut istriku sangat nikmat bila disentuh. Kulihat
gerakan perutnya semakin cepat, tanda bahwa titik itu sudah ditemukan.
Kujilati klitorisnya sambil jari tengahku menekan-nekan bagian atas
kewanitaannya yang hangat, basah dan lembut. Gerakannya semakin liar,
semakin liar, sambil mulutnya mendesah kuat. Kuhentikan kegiatanku, lalu
kudaki tubuhnya perlahan-lahan. Nyai membuka matanya, terlihat agak
kecewa. Tapi itu tidak lama, karena segera kucium bibirnya, dan
kutelusuri mulutnya dengan lidahku. Sementara itu, tanganku membimbing
kemaluanku menuju liang kewanitaannya. Kugosok-gosokkan kepala
kemaluanku ke klitorisnya, kemudian perlahan dan hati-hati kudorong
masuk. Kuku jari Nyai yang agak panjang menancap kuat di punggungku, dan
kulihat mukanya meringis seperti menahan sakit. Batang besar dan keras
itu sedang berusaha menguak lubang kecil dan sempit, yang sudah sangat
basah. Baru masuk tiga perempat, mata Nyai mendelik ke atas, sambil
mulutnya mengeluh keras, "Aaaaaaccchhhh..." Rupanya lubang kewanitaannya
tidak cukup dalam untuk menerima kemaluanku. Kalau kupaksakan, tentu
akan menimbulkan kesakitan yang amat sangat. Jadi kubiarkan sejenak agar
otot-otot vaginanya terbiasa, sebelum kegerakkan naik turun. Setiap
kali tertancap, Nyai mengeluh keras, "Aaaaccchhh..." Aku tidak tahu
pasti, apakah itu karena kesakitan atau menahan kenikmatan. Kemaluanku
serasa dipijat dan dicengkeram karena sempitnya. Seluruh permukaan
batang menggesek dinding gadis muda itu.
Lima menit kami bertempur, membuat tubuh mungilnya basah oleh keringat.
Kepalanya semakin liar menggeleng kekiri dan kekanan, sambil kukunya
mencakar kasar punggungku. Aku yakin pasti menimbulkan luka.
Mudah-mudahan bisa sembuh sebelum ketahuan oleh istriku nanti. Dalam
keadaan seperti itu, masih sempat aku teringat akan istriku. Nyai
menggelepar kapayahan setelah melepas puncak kenikmatannya, kemudian
telentang pasrah menerima terjangan dan tusukan yang semakin lama
semakin cepat. Semakin cepat... semakin cepat... semakin cepat, dan
dengan denyutan yang keras berirama, kemaluanku memuntahkan lahar putih
kental yang banyak, ke atas perutnya. Pikiran jernihku masih bisa
menahan untuk tidak ejakulasi di dalam. Akupun ambruk menimpa tubuh
Nyai. Kukecup mulut mungilnya sambil berucap, "Terima kasih Nyai, kamu
hebat sekali." Dia tersenyum, menarik kepalaku, menciumku lalu berujar,
"Ampun Kang, Nyai nggak kuat. Terima Kasih juga."
Aku bangkit berdiri, masuk ke kamar mandi membersihkan diri. Satu
kebiasaan yang selalu kulakukan setiap kali selesai bersetubuh.
Kubersihkan kemaluanku yang masih basah oleh lendir. Kepalanya yang
merah keunguan, sudah mulai mengecil. Nafsu birahiku sudah lepas seiring
dengan lepasnya sperma. Kepalaku serasa enteng, dan mulai bisa berpikir
jernih, dan mulai lagi berandai-andai. Pikiran Negatif selalu ada, dan
itulah yang mungkin membuatku selalu selamat dalam petualanganku selama
ini.
Kembali ke kamar tidur, kulihat keduanya sudah masuk ke bawah selimut.
Aku masuk ke antara mereka berdua, kemudian kucium bibir mereka
bergantian. Akhirnya berhasil juga aku membawa kalian ke tempat tidur,
senyumku dalam hati.
Ternyata ketenanganku hanya bertahan sebentar. Pikiranku langsung
tergoda pada Euis yang masih perawan. Aku terbayang nikmatnya pengalaman
menembus selaput dara seorang gadis. Sampai saat ini, sudah 4 gadis
yang berhasil kuperawani, termasuk istriku. Aku memang keterlaluan.
Batang kemaluanku kembalu mengeras, besar dan berdenyut. Perlahan
kugeser badanku menyamping mengadap Euis. Gadis manis yang seksi ini
tengah tertidur dalam damai, sampai tidak sadar kalau tubuh telanjangnya
sudah terbuka dari lindungan selimut. Kuperhatikan, payudaranya yang
baru tumbuh. Pinggangnya yang ramping dan seksi, bulu kemaluannya yang
baru tumbuh sedikit, dan kewanitaannya yang masih sangat rapat. Aku
harus mencobanya, tekadku dalam hati. Perlahan kuelus lembut rambutnya,
kemudian kuciumi keningnya, matanya, hidungnya, lalu sampai ke bibirnya.
Perlahan kusapu bibir mungilnya yang merekah merah itu dengan lidahku.
Terdengar desahan dari mulutnya. Rupanya dia terbangun karena
aktifitasku ini. Kulumat mulutnya, yang mendapat perlawanan setimpal
darinya. Tangannya yang satu mengelus dadaku, perlahan turun ke bawah.
Berani juga anak ini, mungkin belum tau apa akibat yang akan
ditimbulkannya. Tangan kiriku mengelus dadanya, kemudian meremas
payudaranya. Desahannya semakin kuat. Kipindahkan mulutku perlahan ke
dadanya, kemudian kuhisap kuat payudaranya sambil kupelintir putingnya
dengan lidahku. Kepalanya mendongak ke atas menahan nikmat. Kutindih
tubuh mungilnya, lalu perlahan kutelusuri tubuhnya ke arah bawah.
Pusarnya kujilat membuat Euis menggelinjang kegelian. Kuteruskan
penelusuranku semakin ke bawah, sampai ke kemaluannya yang sudah kembali
basah. Kujilat klitorisnya yang menonjol keras, membuat kepalanya
bergerak liar ke kiri ke kanan. Tidak mau rugi, akupun merubah posisi
hingga mulutnya bisa bermain di kemaluanku.
Tapi rupanya dia belum terbiasa, hingga diam saja. Kuantar dia sampai ke
puncak kenikmatannya yang pertama, yang membuat Euis memelukku dengan
kuat dan berbisik, "Nikmat sekali kang." Merasa mendapat "angin",
kubisikkan ketelinganya, "Euis sayang, boleh dimasukkan?" Dia menatapku
lekat-lekat, membuatku ragu. Tapi dengan tidak ada reaksi lainnya, dalam
hati kuyakinkan bahwa dia tidak menolak (walaupun tidak mengiyakan).
Akupun kembali bergerilya dengan mulutku, mulai kedua payudara, sampai
ke kemaluannya. Kubuat ia hampir sampai puncak selanjutnya, sebelum
kuhentikan. Itu adalah satu rahasia kecil untuk membuat seorang wanita
ketagihan dan mau menyerahkan segalanya. Saat hampir sampai, hentikan.
Seakan dia akan memelas dan mau berbuat apapun agar kita memuaskannya.
Kucium bibirnya sambil salah satu tanganku membimbing batang kemaluanku
menuju ke liang senggamanya. Euis menatapku lekat-lekat, tetapi tidak
berkata apa-apa. Perlahan kudorong, memasukinya. Baru kepalanya, kepala
Euis sudah mendongak ke atas, dan mukanya menampakkan kesakitan.
Ditembus saja sudah sakit, apalagi dengan batang sebesar itu. Aku tidak
menyerah, perlahan tapi pasti kudorong batang kemaluanku memasukinya.
Euis menggigit bibirnya keras, mungkin supaya tidak berteriak. Perlahan
tapi pasti, selaput itupun terkuak. Kenikmatan tiada tara kurasakan saat
penghalang itu tertembus. Butir air mata terlihat di kedua sudut mata
gadisku ini, menandakan kesakitan yang amat sangat. Tiga perempat sudah
batang besar dan keras itu masuk, hampir jebol pertahananku karena
sempit dan nikmatnya kemaluan Euis. Kuhentikan beberapa saat, sebelum
kupompa naik turun. Aku yakin, Euis pasti tidak bisa menikmatinya karena
belum terbiasa. Dia hanya telentang pasrah menerima genjotanku. Akupun
tiba-tiba punya ide yang lebih gila, aku ingin ejakulasi di mulutnya.
Ide itu membuatku cepat sampai ke puncak. Dan sebelum sempat memuntahkan
lahar, kukeluarkan lalu kumasukkan ke dalam mulut mungilnya yang
terbuka. Dia kaget, tetapi tidak dapat berbuat apa-apa. Tidak lama,
akupun memuntahkan cairan kental dan putih itu dalam mulutnya, yang
segera dimuntahkannya ke lantai. Segera kupeluk Euis yang menangis
terisak-isak, sambil kuciumi dan kuusap ubun-ubun kepalanya. Seprai
merah jambu yang berantakan bernoda darah yang lumayan banyak. "Terima
Kasih Euis," kataku. Dia diam saja, tapi balas memelukku erat. Sementara
Nyai tetap tertidur lelap kelelahan. Dari mukanya terlihat kepuasan
yang amat sangat. Malam itu, aku menyetubuhi Euis sekali lagi, sebelum
kami berdua tidur berpelukan sampai pagi. Dalam pergumulan yang kedua
ini, Euis tidak lagi terlihat kesakitan, walau kurasa, dia belum bisa
menikmatinya.
Esok harinya, kami baru terbangun saat matahari sudah tinggi. Kupeluk
kedua gadisku sambil kutanyakan, "Mau lagi?" Euis menggeleng pelan,
sedangkan Nyai menjawab ingin, hanya harus pulang. Ya sudah, setelah
masing-masing mandi membersihkan diri, kamipun meninggalkan penginapan
itu. Pada saat kedua gadisku mandi, diam-diam kusisipkan lima lembar
seratus ribuan ke dalam masing-masing tas sekolahnya. Aku sudah
membayangkan bagaimana komentar Room Boy-nya saat melihat tempat tidur
berantakan dan bernoda darah. Setelah mengantarkan mereka ke rumah orang
tua masing-masing, kupacu mobil biru kecilku menuju ke kota tujuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar