Jumat, 22 Juni 2012

Sunat membawa nikmat

Sebut saja namaku Jack, usiaku kini 25 tahun. Aku adalah putra seorang pengusaha Indonesia yang keadaan ekonominya cukup berada sehingga, tidak seperti orang kebanyakan, aku cukup beruntung untuk bisa berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri. Kini kuliahku telah selesai dan aku memutuskan untuk kembali ke tanah air.

Ok, kita skip saja basa-basinya. Cerita ini berawal ketika aku menjalin kasih dengan seorang cewek Indonesia, panggil saja Ine yang kebetulan dulu kuliah ditempat yang sama denganku. Wait a minute, mendengar hal ini mungkin ada yang bertanya-tanya, kok nggak sekalian cari jodoh orang bule saja? Sekalian perbaikan keturunan. Hehehe.. yup anda tidak salah baca, its HEHEHE, aku hanya tertawa saja kalau mendengar perkataan semacam itu, karena soal cinta kan memang tidak bisa diatur. Lagipula kedua orangtuaku memang menginginkan putra tunggal mereka ini kelak berjodoh dengan sesama orang Indonesia saja, biar pure Indonesia katanya. Eits, bukan berarti aku dijodohkan lho, memang kebetulan ketemunya (dan sregnya) sama wanita asli Indonesia. Lagian, orang Indonesia kan nggak jelek-jelek amat, jadi mengapa keturunannya harus diperbaiki segala? Not to mention nggak ada montir di dunia ini yang bisa memperbaiki keturunan manusia, ya kan? Anyways, ini cuma pendapatku saja, so buat yang nggak setuju ya bebas-bebas saja, ok! Peace! Hehehe.. O ya, Ine berwajah sangat cute (menurutku, lagipula kecantikan itu relatif, tul ngga?), tingginya 165cm dengan ukuran payudara 34c.

Singkat cerita, aku dan Ine sudah bertunangan dan kurang lebih dua bulan lagi akan segera memasuki jenjang hubungan yang paling serius untuk mengikat janji suci dihadapan Tuhan dan kemudian menuju perkelaminan, eh... pelaminan. Nah, karena hubungan kami berdua sudah sangat serius dan kalau tidak ada aral melintang, batu menghadang dan badai menerjang, aku dan Ine sudah dipastikan akan menikah. Bicara soal angka dan peluang, kemungkinan kami akan menikah adalah 99,9 persen. Yang 0,1 persen sisanya hanya akan terjadi kalau tiba-tiba dihari pernikahanku nanti muncul seorang wanita hamil yang menuntut pertanggungjawaban dariku untuk menikahinya, which is impossible karena aku memang belum pernah bercinta dengan seorang wanitapun, termasuk si Ine. Karena itu, aku jadi ngebet sekali untuk bisa cepat-cepat melepas keperjakaanku ini dan ingin segera bercinta dengan kekasihku yang ayu itu karena toh kami sudah hampir menikah. Aku sudah membicarakan hal ini dengan Ine dan kami terlibat dalam perdebatan kecil, isinya soal aku yang tidak sabaran dan ini-itu. (Lagi-lagi) Singkat cerita, aku agaknya telah berhasil meyakinkan si Ine untuk berhubungan badan sebelum tanggal pernikahan tiba, aku berargumen jika kami berdua melakukannya setelah menikah, nanti akan sama dengan orang-orang lainnya, lagipula kami akan tahu bagaimana sensasinya jika melakukannya sebelum waktunya dan nantinya bisa dibandingkan lagi ketika melakukannya setelah menikah. Terdengar gila, tapi karena berhasil membujuknya, itu semua menjadi tidak masalah.

Kami berdua memutuskan untuk melakukannya besok sore di sebuah hotel di daerah Jakarta Selatan. Wah, membayangkan apa yang akan terjadi esok, aku jadi tidak sabar dan tidak bisa tidur, walaupun setelah dikocok jadi bisa tidur, hehehe. Keesokan harinya, aku menjemput Ine yang sudah mendapat ijin dari ortunya untuk ngedate denganku. Ya iyalah, kalo ijinnya ke ortu mau ML di hotel, mana mungkin dikasih. Kemudian, kami segera meluncur menuju hotel MXXXXXXX dan langsung check in. Supaya tidak dicurigai, aku check in sendiri, beberapa menit kemudian barulah si Ine menyusul menuju kamar hotel yang sudah kupesan sebelumnya setelah kukabari via sms.

Di dalam kamar hotel, jantungku dagdigdug tidak karuan karena belum pernah melakukan hal ini sebelumnya. Untuk mencairkan ketegangan, kami berdua duduk2 terlebih dahulu sembari mengobrol ngalor ngidul. Lumayan lama juga, kira-kira lebih dari setengah jam kami ngobrol. Baru setelah itu, aku memulai 'gerilya' dengan duduk semakin merapat dan merangkul pundaknya. Aku berbisik I love you ditelinganya agar dia rileks. Kemudian kami saling berpandangan, dan entah siapa yang memulai, kami mulai berciuman. Bibir mungilnya kulumat dan kuhisap-hisap. Perlahan, aku memasukkan dan kemudian memainkan lidahku didalam mulutnya. Ine tampak sangat menikmati hal ini, itu terlihat dari kedua matanya yang dipejamkan dan ritme nafasnya yang mulai berubah. Posisi tangan kiriku kupindahkan, dari yang semula merangkul erat pundak Ine berpindah ke pinggangnya yang ramping. Sementara tangan kananku kugerakkan merayapi punggung Ine, yang masih berbalut T-shirt ketat warna cokelat muda, dengan gerakan pelahan menuju keatas kearah belakang lehernya yang kemudian kubelai lembut. Hanya desahan perlahan yang terlontar dari bibirnya. Mendapat 'sinyal' ok, aku melanjutkan aksiku dengan menyusupkan tangan kiriku dibalik T-shirtnya. Perlahan, jemariku menyentuh kulit perutnya yang kencang, lalu naik keatas lagi, dan lagi, dan lagi, hingga sampai diatas gumpalan dadanya yang kenyal dan masih terbungkus bra berenda. Kuremas pelan-pelan payudara sebelah kiri Ine sambil terus berciuman dan tangan kananku kumasukkan dibalik T-shirtnya sehingga menyentuh langsung punggungnya, dan tangan kananku terus kugerakkan naik hingga menyentuh pengait bra si Ine yang kemudian tanpa babibu langsung aku buka. Dalam sekejap, bra tersebut terjun bebas ke lantai keramik hotel yang berwarna putih bersih, sehingga kini tanganku bisa langsung menjamah payudaranya tanpa ada yang menghalangi. Dengan jari telunjuk dan jempol tangan kiriku, kupilin-pilin puting payudara kiri Ine yang kini mengeluarkan desahan-desahan karena bibirnya sudah lepas dari ciumanku. "Nghhhh... Jack.. aa" Desah si Ine. Tanpa buang waktu, segera kulucuti T-shirtnya sehingga pemandangan indah terpampang didepan mataku yang setengah melotot, payudaranya Ine sekal dan montok sekali dengan puting yang berwarna kemerahan. Juniorku yang tadi sudah setengah mengeras kini semakin mengeras seolah hendak meronta untuk keluar dari balik celana jeans dan juga celana dalamku.

Ine yang sudah setengah telanjang kurebahkan di atas sping bed. Lalu, aku buka resleting rok jeansnya dan segera kulorot sehingga terlihat celana dalamnya yang berwarna pink dan berenda, samar-samar terlihat rambut kemaluannya karena lapisan celana dalam itu memang tidak terlalu tebal. Tidak menunggu lama, segera kulepas celana dalam itu dan terlihat pemandangan yang wow dihadapanku sehinga aku hampir-hampir tidak berkedip dibuatnya. Tampak belahan vagina yang menggoda dengan dihiasi bulu-bulu kemaluan yang tidak terlalu lebat. Aku tidak tahan lagi, segera kujamah vagina itu. Kusibakkan kedua bibirnya kesamping shingga kelihatan bagian dalam vagina Ine yang berwarna merah muda. Tanpa menunggu lama, aku langsung menusukkan lidahku kedalam liang itu, kujilat-jilat dan kumainkan lidahku didalam. Nafas Ine semakin memburu, "Aaah, Jack.. ka.. mu ngap.. pain, enghhh..!!" Tidak kuhiraukan desahan itu dan aku terus saja menjilat-jilat vaginanya yang mulai dipenuhi lendir tanda Ine sudah sangat terangsang. Kucabut lidahku dan sasaran berikutnya adalah klitorisnya. Segera kukulum dan kuhisap klitorisnya sembari terkadang kujilat-jilat permukaannya. Desahan Ine kian menjadi dan tidak seberapa lama kemudian ia mencapai orgasme, "aaaach.. aahh!!" dengan diiringi lenguhan panjang tubuhnya menggelinjang hebat dan cairan kenikmatan mengalir deras keluar dari vaginanya. Aku langsung menyeruput habis cairan itu. Kemudian aku beranjak berdiri, kulihat Ine masih rebahan dengan mata setengah terpejam dan pandangan yang mupeng, woow gile.. terlihat tambah cakep aja ni anak. Lalu aku melepas kaosku dan celana jeansku, kemudian langsung kuterkam si Ine yang masih terengah-engah. Tanpa ampun, langsung kuemut puting payudaranya yang sebelah kanan, sambil tangan kiriku meremas dan memainkan payudara kiri Ine. "Aaahh, mmmmhh, terus Jack... ohh!!" Desahnya. Aku semakin asyik saja 'menyusu' di payudara yang montok tersebut. Aku sudah tidak tahan lagi, ingin segera menikmati 'main course' alias 'hidangan utama' berupa ML saus tiram, hmmm. Segera aku berdiri dan melepas kain terakhir yang menutup tubuh telanjangku yaitu celana dalam warna biru tua merek BXXXX. Begitu celana dalam itu terlepas, juniorku yang dari tadi tersiksa langsung berdiri mengacung menghirup udara bebas. Tidak tampak ada kepala penis karena memang punyaku uncut (belum disunat). Buat yang seumuranku tentu tahu kalau dulu, waktu masih anak-anak, yang namanya sunat tidak diharuskan (yang diharuskan hanya agama tertentu). Namun belakangan dunia medis merekomendasikannya, tapi aku belum juga memutuskan untuk melakukannya. Sebenarnya, Ine sudah kuberi tahu tentang hal ini sekitar setengah tahun yang lalu ketika kami baru pulang ke Indonesia dan kami berdua sedang memikirkan rencana pernikahan. Intinya dia keberatan dengan kondisi tersebut dan memintaku untuk disunat saja. Tapi, yah.. terus terang aku malu apalagi sekarang sudah di tanah air, nanti apa kata dokternya kalau tahu sudah gede kok belum disunat, bla bla bla, namun yang pasti aku akan lebih malu lagi kepada pasien lainnya yang akan disunat. Dalam bayanganku, tentu semuanya masih anak-anak dan pasti hanya aku sendiri yang paling tua.. aargh tidak! Aku tidak sanggup melakukan itu, jadi ya akhinya aku membohonginya dan mengatakan aku sudah disunat sekitar tiga bulan yang lalu. O ya, kembali lagi ke 'hidangan utama', aku berharap agar Ine tidak lagi keberatan dengan hal ini. Apalagi dia sedang horny, dimana seharusnya akal sehat tidak terlalu bermain, sehingga tanpa sadar dia akan mau ML denganku. Segera aku merangsek ke arah Ine untuk lekas-lekas menancapkan pusakaku ini kedalam liang vaginanya yang sudah basah itu. Tapi.. yang kutakutkan terjadi, Ine menahan tubuhku dan mendorong perlahan sembari menutupi tubuhnya dengan selimut. Sirna sudah wajah mupeng yang kulihat tadi berganti ekspresi kecewa. "Jack! Aku kan sudah bilang dulu kalau aku nggak mau melakukannya denganmu kalau kamu belum disunat, you have to be circumcised first!" Teriaknya. Waduh, batinku, gimana kalo penghuni kamar sebelah mendengar? Bakal ketahuan kalo aku belum sunat.. aaargh. Tapi yang lebih dari itu, aku memang merasa bahwa aku sudah bersalah kepada Ine. Juniorku pun tidak lagi tegang, namun mengendur dan semakin mengendur.

"Tapi Ne, apa kamu nggak ngerti? Aku kan malu. Apalagi sunatnya di Indonesia, the culture here is way different. Aku akan kelihatan aneh.. bahkan sangat aneh." Jawabku.
"Aku ngerti, aku bisa mengerti kalau kamu malu. Tapi... kamu sudah bohong sama aku Jack." Kata Ine lirih, airmata mulai membasahi pipinya.
Waduh, aku benar-benar merasa sangat bersalah. Aku mencoba menghiburnya, namun kali ini menjadi lebih susah dari biasanya.
"Ok, aku akan maafin kamu, but you have to promise. Kamu akan bener-bener sunat kali ini!" Kata Ine.
"Baiklah, aku akan sunat, minggu depan, ok?" Jawabku.
"No! Sekarang, hari ini atau aku akan pikir-pikir lagi soal rencana pernikahan kita." Jawab Ine tegas.

Akhirnya aku mengiyakan permintaannya, daripada tidak jadi menikah. Wah, jangan deh. Lebih baik menahan malu sebentar. Kami berdua kembali berpakaian dan Ine kuminta untuk cuci muka agar tidak terlihat bawa dia habis menangis. Kan gawat kalau ketahuan sama calon mertua.
"Kamu kan takut disunat, jadi aku akan menemani kamu." Kata Ine. Tapi aku menampik tawarannya karena, dia tampak shock dan lelah. Jelas bahwa dia perlu istirahat. Jadilah aku mengantarnya pulang. Ketika sampai di depan rumahnya dia bertanya. "Tapi bagaimana aku tahu kalau kamu bener-bener sunat hari ini?" Aku menjawab "besok kan bisa kamu lihat sendiri, pasti akan ketahuan kalau aku bohong lagi." Ine menyetujuinya dan aku pun berangkat sendiri mencari dokter yang melayani jasa penyunatan.

Setelah berputar putar keliling kota. Akhirnya kutemukan juga tempat praktek sunat. Hati-hati aku masuk kedalam dan, terjadilah yang kutakutkan. Terlihat banyak anak kecil yang antre untuk disunat. Aargh.. tidaak. Rasa malu kembali mengalahkan logika. Sehingga aku pun ngacir pergi dari tempat itu dan bertekad untuk mencari tempat lain saja. Namun keadaan semakin sulit karena kulihat jam tanganku sudah menunjukkan pukul 19.00. Waduh, bisa batal ini, dan Ine pasti marah lagi padaku besok, kenapa tadi aku tidak sunat saja ditempat yang banyak anak kecil itu, kataku dalam hati. Jam menunjukkan pukul 19.30 aku melihat papan nama sebuah klinik yang melayani penyunatan. Kali ini aku sudah bertekad untuk tidak akan lari apapun yang terjadi, ini demi rasa sayangku pada Ine, aku tidak mau mengecewakannya lagi. Dengan jantung berdegup kencang, kudorong pintu kaca depan klinik dan.. thank god, tidakada orang. Hanya ada seorang perawat, yang menurutku lumayan cantik, beranjak menyambutku dan menanyakan keperluanku dengan ramah. Aku menjawab "Emm, benar disini bisa sunat suster?"
"Oh betul sekali bapak. Nah, dimana anaknya yang mau disunat pak?" Tanya suster itu.
Waduh, sialan, pertanyaan yang aku sangat tidak suka. Terlebih lagi untuk menjelaskan. "Engg, sebenarnya.... sebenarnya.." Aku merasa tidak sanggup mengucapkannya, ingin rasanya lari lagi namun bayangan Ine yang menangis tiba-tiba terlintas di benakku sehingga aku memutuskan untuk menjawabnya. Ah terserah sajalah kata orang, batinku. "Sebenarnya saya yang mau sunat sus.." There, selesai sudah, aku sudah berhasil mengatakannya. Rasanya seperti beban 100kg sudah terangkat dari pundakku.

Suster itu agak terkejut mendengarnya, yang membuatku lega, dia tidak menertawakanku seperti bayanganku semula. Tidak lama kemudian dia masuk kedalam untuk menemui dokternya, lalu kembali lagi kedepan menemuiku dan berkata "Baik pak, dokternya sudah siap, silahkan masuk."
Akupun masuk kedalam ruang praktek dan.. aku kembali terkejut karena dokternya seorang wanita. Wah, masak aku mesti buka-bukaan didepan cewek selain Ine. Tetapi pikiran itu semakin memudar melihat sosok dokter itu yang cantik, sangat cantik bahkan. Kalau kutaksir kira-kira umurnya baru 23 mungkin 24, pastilah baru lulus dan buka praktek batinku, ukuran dadanya... tidak terlalu kelihatan karena ia memakai jubah khas dokter yang putih.
"Eee, dokter yang nanti......" Kata-kataku terputus. "Ya betul mas, saya yang akan menyunat anda." Katanya sambil tersenyum ramah. Kemudian dokter itu memintaku untuk melepas celana berikut celana dalamku. Wah, aku degdegan juga karena harus mengekspos bagian pribadiku dihadapan lawan jenis yang tidak kukenal. Perlahan tapi pasti, celana jeansku beserta celana dalamku sudah terlepas sehingga kemaluanku kini gandul-gandul dihadapan dokter tersebut. Dokter itu sendiri tidak terlalu memperhatikan karena sibuk menyiapkan peralatannya. Baru kemudian ia memandang penisku ini. Entah apa yang ada dibenaknya karena kurasa, biasanya dia menyunat anak-anak, sekarang dia dihadapkan pada penis pria dewasa.
 Dokter wanita itu memintaku duduk di atas meja periksa dan kemudian dia memakai sarung tangan lateks. Barulah kemudian kedua tangan dokter itu menuju ke arah alat kelaminku. Waduh, aku kembali dagdigdug. Kemaluanku ini kan bukan punyanya anak kecil. So, kalau dipegang-pegang, apalagi oleh lawan jenis, pasti bakalan bangkit dari tidurnya. Benar saja, sewaktu dokter itu memegang batang penisku, si junior langsung bangun dan mengembang dengan cepat menuju ukuran maksimalnya, 18cm. dokter itu terlihat terkejut sekali, entah itu terkejut karena adikku tiba-tiba bangun, atau terkejut karena ukuran adikku yang lumayan besar. "Eeh, maaf ya dok, ini... spontan soalnya." Kataku dengan senyum yang kecut. "Oo, ee. nggak apa-apa kok." Dokter itu sepertinya juga salah tingkah, mukanya memerah. Melihat itu, pikiran jorokku mulai bermain. Bagaimana kalau dokter cantik ini kusuruh melakukan handjob. Tentu ia kaget waktu tadi tahu pasiennya adalah pria dewasa. Nah, kalau kubilang bahwa aku tidak tahu cara mengecilkan kembali penisku ini kemungkinan ia akan percaya, apalagi hingga sebesar ini aku belum disunat.

"Mmmm, tapi saya tidak bisa mengkhitan kalau sedang.... begini." Kata dokter itu padaku sambil sesekali memandang penis tegangku. "Lebih baik mas.. ee.. keluarkan dulu di kamar mandi baru kita lanjutkan." Tambah dokter itu lagi. Akupun mulai aksi pura-pura bego, "keluarkan? Maksudnya apa dok? Saya kan lagi nggak kebelet pipis." Jawabku dengan memasang tampang yang sebego mungkin. "Ee.. bukan pipis maksud saya. Maksudnya mas.. ee.. masturbasi dulu." Jawab dokter itu gugup. Nah, umpanku mulai kena, batinku. "Mas.. apa dok, saya nggak ngerti. Setahu saya kalau lagi begini ya didiamkan aja, ntar juga kecil lagi. Kalau pagi-pagi bangun juga gitu dok, saya diemin aja." Jawabku bego dengan penis yang tetap mengacung. "Memang caranya bagaimana dok?" Pancingku. "Ee.. ya, mas .. ngg.. kocok itunya, nanti kalau sudah keluar, pasti mengecil." Jawab dokter itu dengan muka yang kian memerah. Hatiku semakin girang, pasti ia percaya kalau aku tidak tahu apa-apa tentang ini. "Bagaimana dok? Aduhh, saya nggak ngerti. Atau, dokter aja deh yang keluarkan. Saya takut soalnya saya bener-bener nggak ngerti soal ini." Tambahku. Dokter itu tampak terperanjat dengan jawaban polosku tadi. Namun sepertinya ia kehabisan akal untuk mengajariku cara masturbasi, dan ia juga tampak tidak ingin berlama-lama dengan pasien yang satu ini. Akhirnya dokter itu setuju untuk melakukan handjob. Hehehe, berhasil!! Batinku.

Pertama-tama, dokter itu menggenggam batang penisku dengan tangan kirinya yang masih terbungkus sarung tangan lateks. Kemudian ia mulai menggerakkan tangannya naik-turun. Ohh, gila, rasanya enak sekali. Apalagi kemudian dokter itu memainkan kedua buah zakarku dengan tangan kanannya yang, tentunya, juga masih bersarung tangan. Lalu, tangan kanannya digunakan untuk merangsang bagian sensitif penis pria, yaitu daerah dibawah kepala penis. Ahh, rasanya semakin nikmat, aku terkadang sampai memejamkan mataku untuk menikmati sensasinya. Tidak seberapa lama, cairan pelumas (cairan yang keluar jika pria terangsang) mulai menetes dari lubang kencingku. Dokter itu menadahinya dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya yang mendapat giliran mengocok batang penisku. Setelah seluruh cairan pelumas keluar. Tangan kanannya behenti mengocok penisku dan tangan kirinya yang ada tetesan cairan tadi dipakai untuk mengocok batang penisku. Woow, sensasinya bebeda karena lebih licin rasanya. Nafasku mulai memburu, perjalanan menuju puncak sudah mencapai tengahnya. Dokter itu tidak mengurangi ritme kocokannya melainkan malah mempercepatnya, aah rasanya enak sekali apalagi karena ada cairan tadi. Lima menit kemudian aku sudah tidak tahan lagi, sedikit lagi sudah mencapai orgasme. "Aaaaaaa.. aaa." pekikku. Dan sedetik kemudian "Aaahh... hhh... hhh." Muntahlah spermaku ke lantai tempat praktek itu, sebagian mengenai pakaian dokter itu. Lega dan senang sekali rasanya, apalagi karena dokter cantik ini bersedia memberiku handjob, hehehe. Singkat cerita, akhirnya aku disunat juga, entah memakai metode apa, dan dokter itu bilang bahwa lukanya akan sembuh dalam waktu dua minggu. Sebelum pergi, aku menanyakan nama dokter itu, ternyata namanya Ika. Ternyata lagi, aku salah mengira, umurnya ternyata 27. Heh, dua tahun lebih tua dariku, tapi kok kelihatannya masih sangat muda, pastilah ia pandai merawat kecantikannya. Aku juga bertanya apakah aku bisa datang kembali ke klinik itu untuk memeriksakan juniorku dua minggu lagi.

Dalam waktu dua minggu itu pula aku berencana agar bisa melakukan yang lebih. I mean, dokter ini sudah mau handjob, bagaimana kalau aku bisa mendapatkan yang lebih dari itu. Dalam dua minggu itu pula, aku menolak ajakan Ine untuk melanjutkan 'hidangan utama' yang belum sempat dinikmati di hotel dulu. Aku bilang kepadanya bahwa penyembuhannya makan waktu satu bulan setengah dan bahwa sebaiknya kami melakukannya setelah menikah saja. Untung si Ine mau mengerti dan tidak ngambek lagi. (Lagi lagi lagi) singkat cerita, dua minggu telah berlalu. Aku menunggu lagi satu hari untuk memastikan bahwa juniorku ini sudah siap tempur. Hari yang ditunggu tibalah juga, aku berangkat kembali ke klinik itu pada jam yang serupa dengan terakhir kali aku ke sana. Harapanku, tidak ada pasien yang mengantre. Dan... betul juga, hanya ada satu orang pasien anak-anak dan bapaknya yang baru saja pergi meninggalkan klinik itu.

Aku menemui suster yang jaga. "E... bisa saya bertemu dengan dokter Ika? Saya sudah bikin janji dua mingu yang lalu." Tanyaku. Suster itu kemudian menuju ke ruang praktek dan tidak seberapa lama kemudian kembali dan mempersilakanku masuk. Aku akhirnya masuk kedalam ruang praktek. Dokter Ika menanyakan apakah ada keluhan pada kemaluanku. Aku menjawab bahwa tidak ada keluhan dan tidak terasa sakit. Dokter Ika kemudian menyatakan bahwa aku sudah sepenuhnya sembuh. "Ehh, tapi dok. Begini.. Saya, dalam waktu dekat ini akan menikah. Engg, saya kan tidak tahu apakah anu saya akan normal saja pas malam pertama." Pertanyaan yang ngarang dan ngaco. "Begini saja mas, mas coba saja masturbasi dulu, kalau tidak sakit kemungkinan tidak akan sakit waktu dipakai berhubungan badan." Jawab dokter Ika dengan wajah yang sedikit memerah. Mungkin karena mengingat yang tejadi dua minggu yang lalu. Aku kembali mencari akal agar dia mau kuajak yang tidak-tidak. "Mmm, saya masih takut dokter, bagaimana kalau nanti lukanya kambuh. Aduuuh, saya takut." Jawabku beralasan. "Emm.. gimana kalau dokter aja yang...." Tambahku. Ika hanya terdiam. Aku tidak ingin ia menjawab tidak sesuai keinginanku, jadi aku langsung berjalan menuju meja periksa dan melepas bawahanku sehingga bagian bawah tubuhku kini sudah tanpa sehelai benangpun. Sesuai dugaanku, Ika terpaksa harus menuruti kemauanku. Iapun menuju meja periksa dan kemudian langsung menggenggam batang penisku, tapi kali ini tanpa sarung tangan, wow. Menerima sentuhan dari tangan wanita, kontan penisku mengeliat dan bangun dari tidurnya. Dokter Ika kemudian tampak tertegun, memang, setelah disunat juniorku tampak lebih garang. Ika kemudian memeriksa bagian leher penis dan menyentuh-nyentuh disekeliling diameternya untuk memastikan bahwa aku tidak merasakan sakit. Kemudian ia mulai mengocok penisku. Ahh, memang enak sekali kalau disentuh oleh lawan jenis. Kocokan tangannya mulai dipercepat, pasti tujuannya supaya aku cepat keluar dan cepat pergi dari sini. Aku tahu itu, tapi aku tidak akan membiarkannya terjadi. Saat ini posisiku duduk diatas meja periksa sementara Ika duduk di kursi yang dihadapkan ke meja periksa itu sehingga posisinya agak lebih rendah dariku. Akupun menggerakkan tanganku menuju payudaranya yang terbalut jubah dokter dan kemeja hitam. Tanpa basa basi, kuremas kedua payudaranya. Ikapun terkejut dan melepaskan genggaman tangannya dari penisku. Kemudian kedua tangannya disilangkan diatas dadanya. "Mas, apa-apaan sih.. emph!" Sebelum banyak berkata-kata, kulumat dan kuhisap-hisap mulutnya. Kedua tangan Ika mencoba mendorongku, tapi tidak cukup kuat untuk melakukannya. Dengan tangan kiriku, kuremas sebelah payudaranya. Sementara tangan kananku, meremas-remas bongkahan pantatnya dari luar rok kain berwarna hitam yang dikenakan Ika. "Emmm... mmmhhh." Hanya itu yang terlontar keluar dari bibir Ika yang sedang kucium dengan ganas. Perlahan kucoba memasukkan lidahku kedalam mulutnya dan bermain-main dengan lidahnya, mungkin karenasudah terangsang, Ika membalas pemainan lidahku, lidahnya juga dimasukkan kedalam mulutku dan akupun langsung menghisap-hisapnya. Jemari tanganku mulai bergerak lincah membuka satu demi satu kancing kemeja Ika. Dan, aku tidak measakan penolakan darinya, berarti keadaan sudah benar-benar aman nih, hehehe. Akupun melepaskan ciumanku dan Ika tampak terengah-engah. Setelah kubuka semua kancing kemejanya segera kulepas kemeja dan jubah dokternya, kemudian menyusul bra putih yang dikenakannya. Wow, ternyata payudara dokter ini cukup sekal, kira-kira seukuran dengan punya Ine. Kedua payudara Ika juga terlihat masih tegak dan menantang. Tanpa buang-buang waktu, aku langsung mengulum sebelah puting susu Ika sementara yang satunya lagi aku mainkan dengan tanganku. "Ahh, ssshh.. mmmhh." Desah Ika. Tangan kananku yang bebas begerilya kebelakang dan bergerak kebawah, melepas pengait dan resleting rok Ika. Begitu sudah terbuka, rok hitam itupun meluncur bebas kebawah. Tangan kanankupun leluasa meremas-remas pantat Ika yang terbungkus celana dalam warna putih. Perlahan jemari tanganku kususupkan ke kemaluannya yang ternyata sudah basah. Ok, tidak perlu menunggu lagi, segera kuturunkan celana dalam itu sehingga Ika kini benar-benar telanjang bulat. Segera kuangkat tubuhnya dan kubaringkan diatas meja periksa. Aku membuka kaosku sehingga kini aku dan Ika sama-sama telanjang bulat. Kukangkangkan kakinya lalu segera kuarahkan batang penisku yang sudah tegang sekali menuju liang vaginanya. Kugesek-gesekkan terlebih dahulu di permukaan vaginanya. Lalu, bless, batang penisku melesak dalam di vagina Ika. "Aaa... masss.. pe.. lan." Desah Ika. Kudiamkan terlebih dahulu penisku. Setelah beberapa saat, barulah kugerakkan maju mundur diiringi dengan desahan Ika, si dokter cantik itu. Plok, plok! Suara pahaku yang bertemu dengan pangkal paha Ika. Sambil bersenggama, tanganku meremas-remas payudaranya dan terkadang memilin-milin putingnya, sementara bibirku berulang kali menciumi bibir, pipi dan leher Ika. Sepuluh menit berselang, nafas Ika semakin memburu dan tidak lama kemudian, "Aa.. ahhh... aaahhh!" Ika mencapai orgasme. Kedua matanya dipejamkan. Keringat deras membasahi tubuhnya. Kudiamkan sejenak dan kubiarkan Ika menikmati orgasmenya. Lalu kubalikkan badannya dan kumasukkan lagi penisku dalam posisi doggy style. Kusodokkan penisku pelahan, namun kian lama kian cepat. "Ahhh, mass... ahh.. ach.. enak mass!!" Racau Ika. Sekitar lima belas menit kami bercinta dalam posisi ini, Ika kembali orgasme. "Achh.. mass.. aku keluar, ahh, aaaaaa!" Kubalikkan lagi badannya dan kupompa terus karena aku juga merasakan gelombang orgasme kian mendekat. Kupacu dan kupecepat sodokanku dan "aaa.. aku mau kel.. luar." Aku hendak mencabut penisku untuk memuntahkan sperma diatas perutnya, namun kedua kaki Ika tiba tiba dilingkarkan disekeliling pinggangku dan "Ahh... hhh.. hhh!" Semburan demi semburan sperma masuk kedalam rahim Ika. Aku merasakan suasana ini sangat intim. Kudiamkan penisku didalam vagina Ika selama beberapa saat dan kupagut bibirnya lalu kubisikkan thank you di telinganya. Ika hanya tersenyum manis. Sangat manis. Sunguh hari yang sangat indah dan akan selalu kukenang.

1 komentar: